http://www.youtube.com/watch?v=9KM7fl7-T3k
Maka apabila Tuhan memuji makhluk, sebenarnya Dia memuji DiriNya sendiri. Yang pertama tadi, Tuhan puji DiriNya sendiri, itu sudah ‘confirm’. Yang kedua ini, Tuhan memuji makhluk. Tapi sekalipun Dia memuji makhluk, sebenarnya Dia memuji DiriNya kembali.
Contohnya kita kata : “Eh, Che’ Mat ini memang budiman, dia selalu buat kenduri beri orang makan!” Sebenarnya yang menggerakkan Che’ Mat ini mengadakan kenduri siapa? Tuhan juga! Dari segi hakikatnya Che’ Mat tidak ada kuasa. Yang buka dan yang lapangkan hati Che’ Mat supaya dia berpikir : “Eh, aku ada ongkos lebih, aku mau buat kendurilah,”... Tuhanlah juga.
(*Contoh ini sebenarnya sesuai untuk puji jenis yang keempat, iaitu makhluk puji makhluk. Mohon maaf atas kesilapan ini – Abu Zulfiqar)
Jadi sebenarnya apabila Tuhan memuji makhluk, Dia memuji DiriNya sendiri. Che’ Mat itu jadi budiman, karena atas dorongan yang dibuat oleh Tuhan. Jadi sudah dua jenis pujian, kedua-dua jenis pujian walau bagaimanapun kembali kepada Diri Tuhan sendiri.
Puji yang ketiga – baharu puji Qadim. Kita sering mengatakan : “Alhamdulillah, segala puji-pujian bagi Allah...” Sudah tentulah pujian itu pergi kepada Allah. Ketiga-tiga jenis pujian tadi perginya kepada Allah.
Puji yang keempat – baharu puji yang baharu. Kita berjalan sambil membawa barang, tiba-tiba barang kita terjatuh. Ada seorang wanita tolong ambilkan barang kita itu dan memberinya kepada kita. Kita pun mengatakan : “Terima kasih bu. Ibu ni sungguh baik hati (kita memujinya).” Apabila kita berketa sedemikian, sebenarnya pujian kita itu pergi ke mana?
Dia yang membuka hati makcik ini supaya menolong kita, siapa Dia? Allah! Jadi, makcik ini baik hati karena Allah. Kita puji itu sebenarnya, berbalik kepada Allah jua.
Maka keempat-empat jenis pujian ini semuanya berbalik kepada Tuhan.
1. Tuhan puji DiriNya sendiri, maksudnya puji itu jatuh pada DiriNya.
2. Kemudian Tuhan puji makhluk, jatuh pada DiriNya juga karena Tuhanlah yang membikin makhluk ini jadi baik.
3. Kemudian makhluk puji Tuhan, memang pujian it uterus kena pada Tuhanlah.
4. Dan yang keempat, sama-sama makhluk kita memuji, sebenarnya pujian itu kena pada Tuhan juga. Sebab itulah yang dikatakan “SEGALA PUJI bagi Allah.”
Maka pada hari ini kita sudah faham, yang orang biasa mengatakan : “Segala puji bagi Allah. Segala puji bagi Allah.” Macam mana yang dikatakan “Segala puji bagi Allah”? Berdasarkan 4 cara ini tadi, kita puji bagaimana pun, semua yang baik – ialah Tuhan. Bukan kita yang baik.
Begitu juga apabila kita hendak mengucapkan terima kasih. Biasanya jika orang tolong kita, kita mengucapkan : “Terima kasih encik.” Terima kasih itu kita tuju kepada siapa? Kita tuju kepada orang itu sahaja. Sebenarnya kalau ikut kaedah tasawuf, “Terima kasihlah encik”... terima kasih kita itu ‘direct’ kepada Tuhan terus. Mengapa? Karena orang itu menolong kita, Tuhan yang menggerakkan dia untuk menolong.
Jadi selepas ini bila kita hendak berterima kasih kepada orang lain, kepada Allahlah dahulunya.
“Terima kasih ibu.”
“Terima kasih bapak guru.”
“Terima kasih adik.”
Walaupun kita tujukan kepada adik, sebenarnya kita tuju kepada Allah terlebih dahulu. Kemudian barulah kepada budak itu tadi. Terima kasih Allah terlebih dahulunya, dari sudut tasawufnya. Mengapa? Orang ini baik, orang ini menolong kita, orang ini buat apa-apa kebaikan pun... semuanya Allah yang bikin. Sebab itu dikatakan : “La haulawala quwwata illa billahil ‘Aliyyil ‘Azim.” Tidak ada daya dan kekuasaan melainkan daya dan kekuasaan Tuhan... Ornag itu jadi baik itu karena Tuhan.
Kita yang hadir pada malam ini pun karena Tuhan yang memilih ... dari segi hakikatnya. Dari segi syariatnya, memanglah kita yang berusaha. Tapi dari segi hakikatnya, Tuhan yang bawa kita datang ke sini, kita tidak ada kuasa. "La haula wala ..." tadi itu.
Maka sudha fahamlah kita hari ini, "Segala puji bagi Allah" itu bagaimana ceritanya.
Selanjutnya kata Imam Al-Ghazali: "Kedua, aku bershalawat dan mengucapkan salam kepada rasul-rasul-Nya. Selawat yang meratai rasul-rasul yang lain bersama penghulu umat manusia.
Imam Al-Ghazali tadi pertamanya dia puji Tuhan terlebih dulu. Setelah itu dia mendoakan keselamatan kepada Nabi Muhammad - yakni shalawat. Shalawat ini pun bukan barang-barang main. Dalam satu hadits riwayat Imam Nasa'i, Ahmad dan Al-Hakim, kata Nabi Muhammad: "Barangsiapa bershalawat kepada aku 1 kali, maka Allah bershalawat kepadanya 10 kali, dan Allah menghapus 10 kesalahan dan mengangkat 10 derajat."
Kita mengatakan: "Allahummasalli 'ala Muhammad", kita mendoakan keselamatan kepada Nabi Muhammad, Allah balas kebaikan kepada kita 10 kali lipat. Jadi shalawat ini sebenarnya 'short-cut' buat kita agar beroleh doa kebaikan 10 kali lipat. Kalau tidak, biasanya kita berdoa: "Ya Allah, anugerahilah aku kekayaan." Baru 1 doa. Tapi kalau kita bershalawat, ia patah balik 10 kali dari Tuhan. Jadi 1 selawat seolah 10 kali doa. Begitulah hasilnya.
Sebahagian orang mengatakan, dari bershalawat lebih baik berzikir. Zikir ini tujuannya kepada Allah terus. Tapi kita kena ingat, bahwa di dalam shalawat itu sudah ada zikir kepada "Allah". "Allahummasalli 'ala Muhammad." Perkataan pertama itu sudah "Allah". Maka dalam shalawat ini, dzikir pun ada, shalawat pun ada. Ia lebih hebat. Sebab itu sebagian ulama melebihkan shalawat dari zikir.
Kalau mengikut kata hadits Nabi tadi, sekali kita bershalawat, Allah membalas kepada kita 10 kali. Setelah itu 10 dosa pula dipadam, diangkat pula 10 derajat. Ini kehebatan shalawat. Mudah saja: "Allahummasalli 'ala Muhammad."
Kalau ingin baca apa-apa shalawat pun bisa. Bacalah shalawat tahiyyat akhir (Selawat Ibrahimiyyah), bacalah Selawat Tafrijiyyah, bacalah Selawat Syifa ', bacalah shalawat apa pun. Banyak jenis selawat. Tapi yang mudahnya yang itulah: "Allahummasalli 'ala Muhammad." Sederhana saja. Dapat 10 kali doa patah balik.
Kemudian kata Imam Al-Ghazali: "Ketiga, aku memohonkan kebaikan kepada Allah Taala tentang membangkitkan cita-citaku mengarang sebuah kitab." Yang ini katanya dia berasa gembira. Dia berharap agar Tuhan menolong dia dalam usahanya menyiapkan kitab ini.
"Keempat, aku melawan untuk memotong kesombonganmu hai pencela yang melampaui batas dalam mencela." Di sini Imam Al-Ghazali meluahkan isi hatinya. Karena apa, pada zaman Imam Al-Ghazali ini banyak orang bicara ilmu tetapi mereka tidak beramal. Banyak orang suka mengumpul ilmu. Kumpul, kumpul, tapi dari segi prakteknya ... lemah. Dari sudut batin, soal hati, dari sudut tasawuf, hubungan dengan Tuhan ... lemah. Banyak ulama yang kumpul ilmu saja.
Kita ringkaskan bagian ini.
Imam Al-Ghazali petik satu hadits, maksudnya: "Manusia yang sangat menderita azab pada hari kiamat adalah orang yang berilmu yang tidak diberi manfaat oleh Allah SWT dengan ilmunya."
Meskipun hadits ini sandanya dhaif tapi kita bisa pakai (* akan dijelaskan nati kaedah berinteraksi dengan hadits dhaif pada file-file kuliah mendatang). Kata Nabi Muhammad, pada hari akhirat yakni hari kiamat nanti ... orang yang sangat-sangat menderita parah kena azab adalah orang yang berilmu, bukannya orang yang tidak punya ilmu. Dia punya ilmu tapi ilmunya tidak bermanfaat buat dirinya. Mengapa? Dia tidak beramal, dia tidak menyebar dan dia tidak ada jiwa ilmu. Dia cuma mengumpul (ilmu) saja. Dia menghafal hadits. Berapa hadits dihafal? 10,000 hadits. Tapi kualitas dirinya berbanding orang awam nampak biasa saja, tidak kelihatan pun macam orang saleh. Sebab dia tidak ada amal. Tambah-tambah amal hatinya tidak ada, tasawufnya tidak ada. Dia hanya duduk menghafal banyak benda. Dia suruh orang berjuang tapi dia sendiri pun tidak berjuang. Dia suruh orang beramal, dia sendiri pun tidak beramal. Ini jenis orang yang dikatakan Nabi Muhammad, hari kiamat nanti akan kena siksaan teruk. Kita ingatkan orang yang tidak ada ilmu yang menghadapi kesukaran. Rupa-rupanya orang yang ada ilmu yang kena lebih parah lagi.