11.6.11

Teks Syarah Ihya' 3 (Indonesia)



Sejauh itu saja (doa kita). Cerdik itu cerdik yang mana? Kadang-kadang (bila) dia besar (sudah dewasa), dia cerdik bagian (hal) jahat.

"Ya Allah, jadikanlah pada anak aku ini punya lesung pipit."

Setiap hari kerjanya doa yang itu sajalah sampaikan terigau-igau dalam mimpi, (karena) kepingin benar anak yang punya lesung pipit.
Tidak salah, tapi itu sudah jadi doa yang 'atas' sekali. Itu yang tidak berapa cocok kedudukannya.

"Ya Allah jadikanlah anakku ini cantik, mukanya seiras Siti Norhaliza (*seorang artis nyanyian di Malaysia)."
Tidak salah, tetapi jangan itu jadi doa yang utamanya.

"Jadikanlah anak aku bila besar nanti 'ganteng' seperti Rosyam Nor (*seorang artis lakonan Malaysia)."
Tidak salah juga. Tapi bapaknya Imam Ghazali tadi, doanya yang teratas sekali (adalah) dia mahu Allah berikan anak yang jadi ulama. Dan doanya dikabulkan Tuhan.

Kita minta memang Tuhan beri, cuma masalahnya doa kita yang 'atas' sekali, yang utama itu, apa doanya? Kalau dapat anak yang cantik tapi perlakuannya tidak cantik, susah juga kita nanti.

Jadi Allah berikan dua orang anak lelaki. Kalau Imam Ghazali namanya Muhammad, adiknya bernama Ahmad - 'Terpuji' juga (maksudnya). Muhammad (dan) Ahmad, keduanya pun 'Mat'. Imam Ghazali, gelarannya Abu Hamid. Adiknya tadi (disebut) Abul Futuh Ahmad bin Muhammad. Gelar adiknya Mujiduddin.

Meskipun berhasil mendapatkan dua orang anak yang baik, tapi bapaknya meninggal awal. Tidak berkesempatanlah dia melihat anak-anaknya tumbuh menjadi ulama. Namun yang pentingnya usaha, bukan (harus) ingin menyaksikan hasilnya. Kita didik anak kita, kita 'target' jadi orang yang soleh, jadi orang baik, jadi orang yang sukses hidupnya. Kita tidak sempat menyaksikan (kejayaan mereka) pun tidak mengapa, asalkan mereka ini berhasil.

Adiknya Imam Ghazali ini juga ulama besar, kita tidak harus menyisihkan adiknya. Sebab apa? Suatu ketika Imam Ghazali jadi imam, adiknya salat di belakang. Ketika salat, adiknya mufaraqah, keluar (dari shalat). Adiknya beri salam, keluar. Setelah salat, Imam Ghazali pun tanyalah, "Kenapa tadi (ketika) aku jadi imam, kamu keluar dari solat?"

Adiknya berkata, "Tiba-tiba saya melihat badanmu bersalut api." Setengah riwayat mengatakan, "... badan kamu berlumuran dengan darah." Sebab itu saya keluar. Saya berasa ada sesuatu yang tidak kena. (Sebenarnya) Waktu (salat) itu adiknya diangkat hijab. Sebab adiknya (di) zaman itu mendahului Imam Ghazali dari segi spiritual. Adiknya ini di bidang kerohanian, tasawuf, adiknya terjun lebih dahulu berbanding Imam al-Ghazali.

"Jadi, apa yang abang pikir tadi?"

Barulah Imam Ghazali teringat.

"Ooh memang benar. Waktu dalam shalat tadi aku berpikir permasalahan fiqh, yaitu masalah darah wanita, darah haid. Bagaimana hukum-hakamnya begini begini. "

Tengah salat dia pikir persoalan agama. Kalau ikut kita, tidak salahlah (sebab masih pikir urusan agama juga). Tapi bagi ulama-ulama, dia harus tumpu pada Tuhan. Tidak harus pikir masalah agamakah, perjuangankah, tidak harus. Imam Ghazali ini pada waktu itu ulama fikih. Dia menyelesaikan masalah hukum yang orang tanya, terbawa dalam salatnya persoalan tentang darah wanita. Karena dia berpikir begitu, Tuhan menampkakkan kepada adiknya tadi, nampak dirinya ... setengah riwayat kata 'berapi', setengah riwayat kata badannya berlumuran darah.

Bila Imam Ghazali dengar sebegitu, "Memang benar. Aku tadinya terfikir selain Allah yaitu masalah fiqh. Mulai hari ini aku pun ingin terjun ke dalam dunia tasawuf, dunia spiritual. "

Sejak hari itu Imam Ghazali pun belajar juga, bertekun juga dalam bidang kerohanian, adiknya pula kalah dengannya.
Hebat dia lagi.

Pada waktu kecil ini, ketika ayahnya hampir mati, ayahnya sudah berpesan, anaknya yang dua orang ini nanti diberikan kepada seorang ustaz untuk dijaga, seorang ulama tasawuf. Tinggal dengan ahli tasawuf. Setelah ayahnya meninggal, Imam Ghazali dan adiknya tinggal bersama ulama tasawuf.

Antara tok guru yang mereka belajar ... ulama tasawuf ini menjaga mereka macam anaklah. Imam Ghazali belajar ilmu fiqih dengan Syeikh Ahmad bin Muhammad ar-Razakani. Zaman itu cukup banyak yang bernama Ahmad, cukup banyak yang bernama Muhammad. Dia punya tok guru pun nama Ahmad bin Muhammad. Adiknya bernama Ahmad bin Muhammad. Dia pula bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Itulah nama
yang popular pada zaman itu.

Selain belajar ilmu fiqih dengan Imam Razakani, belajar pula tasawuf dengan Yusuf an-Nassaj. Setelah itu dia pergi mengembara ke Jurjan,
menuntut ilmu. Gurunya bernama Abi Nassar al-Isma'ili. Tamat belajar, pulang ke kampungnya, mengajar di sana. Jadi, ramailah ulama yang ditemui oleh Imam al-Ghazali. Saya cantumkan di sini dua tiga orang saja. Sebenarnya banyak ulama yang dia temui sepanjang hidupnya.

Dulu saya pernah
menguji satu grup remaja berusia 14 tahun. Saya bagikan satu kertas, saya bilang kepada mereka, "Dalam waktu dua menit, kamu tampilkan nama artis yang kamu tahu. Dimulai dari sekarang. "

Mereka pun apa lagi, tulis nama artis. Dua menit tidak cukup. "Cukup, cukup! Dua menit! "

"Ada lagi ni!" Punya banyaknya nama artis yang mereka ini ingat, remaja
hari ini. Dua menit tidak cukup.

"OK, sudah!"

Penuh kertas.

"Baik. Sekarang kertas kamu pusing sebelah belakang. "Mereka pun pusing.

"Saya beri waktu dua menit, kamu menampilkan nama ulama yang kamu tahu."

Terpinga-pinga budak-budak ni tadi.
Mahu ditulis satu (nama) pun susah.

"Siapa dia ulama y
a?"

Cukup dua menit, saya
lihat paling banyak ada 7-8 nama ulama. Itu paling banyaklah itu. Biasanya 3 orang, 2 orang. Mengapa? Generasi sekarang tidak kenal ulama. Artis? Dua menit kita peruntukkan, dia tidak cukup kertas mahu ditulis. Tulis nama ulama, dua menit ... tak tahu apa mahu ditulis.

"... siapa dia ulama? "

Yang tidak ulama pun dia masukkan juga. Ustaz kecil pun dia tulis juga, sebab sudah tidak tahu (tidak kenal ulama).

Pulang ke rumah, kita bisa 'test' anak-anak kita.

"Awang, mari sini sebentar, bapak
mahu manguji kamu. Ini kertas, ini pen, dalam masa dua menit, coba kamu tulis nama-nama artis. "Laju saja dia menulis. Tulis nama atlet? Laju dia menulis.

"Ok, cukup dua menit! Sekarang bapak untuk dua menit lagi, tulis
kan nama ulama. "

Hah,
lihat bagaimana dia mahu menulis! Silap-silap kertas kosong. Sebab? Generasi kita tidak kenal ulama.

Tapi yang kita
khuatiri, dia 'test' kita pula: "Ooh, bapak pandai ya? Hah, nah! Saya bagi dua menit, bapak tulis nama-nama ulama! "Takut-takut kita pun tidak bisa : )

Baik. Setelah itu Imam Ghazali pergi ke Nisapur. Di sana ada satu sekolah Nizamiyyah, dia berguru pula dengan seorang ulama besar bernama Imam Haramain. 'Haramain' ini maksudnya 'Dua Tanah Haram'. Imam ini cukup
masyhur di Makkah dan di Madinah, (lalu) diberi nama Imam Haramain. Belajar dengan Imam Haramain ini, Imam Haramain cukup sayang kepadanya karena dalam banyak-banyak anak muridnya, Imam Ghazali yang paling handal, paling hebat dalam ilmu-ilmu agama dan praktek. Sampaikan seandainya Imam Haramain berpergian, (jika) dia ada urusan di luar, dia akan menyuruh Imam Ghazali tolong mengajar. Padahal waktu itu Imam Ghazali masih muda.

Bila sampai umurnya 25 tahun, dia dipilih sebagai dosen di Universitas Nizamiyyah. Umur
nya baru 25 tahun. Dia mengajar itu pun orang-orang yang sebaya dengannya, membuktikan betapa handalnya dia.

Pada tahun 479 Hijrah, Imam Haramain yaitu tok gurunya yang handal itu meninggal. Bila tok gurunya meninggal, orang
melantik Imam Ghazali sebagai dosen menggantikan tempat tok gurunya. Muda lagi dia waktu itu. Yang lantik dia siapa dia? Perdana Menteri Nizam al-Mulk, dari Bani Abbasiyah.