16.6.11

Teks Syarah Ihya' 5 (Indonesia)


http://www.youtube.com/watch?v=Ct2oWnwGqDY


... Hebatnya kitab Ihya '' Ulumiddin.


Muhammad nama empunya diri,
Abu Hamid juga dikenali,
Hujjatul Islam gelar diberi,
Itulah Tuan Imam Ghazali.

Al-Ghazali itu gelarannya. Pangkatnya di sisi para ulama adalah Hujjatul Islam. Muhammad namanya, Abu Hamid sempena nama anaknya, Hujjatul Islam gelarannya. Gelaran itu disebabkan fakih dan hebatnya dia dalam ilmu agama. "Al-Ghazali" adalah gelaran sempena nama tempat (asal) nya.

Seorang mujaddid, seorang sufi,
Ilmunya banyak, hikmahnya tinggi,
Mengarang kitab rajin sekali,
Ihya '' Ulumiddin kita pelajari.

Kitab Ihya 'ini sebenarnya yang dalam terjemahan bahasa Melayu ada 8 jilid. Manakala kitab Bimbingan Mu'minin yaitu singkatnya, ada 2 jilid (ada juga yang sejilid sahaja). Bimbingan Mu'minin itu pun sudah sangat tebal. Dalam kitab Ihya 'dan dalam kitab Bimbingan Mu'minin, ia terbagi menjadi 4 bagian.

Yang pertama, kita akan jumpa bagian ibadah. Setelah bagian ibadah, yang kedua bagian aktivitas seharian. Semuanya dihurai dari ayat Quran, hadits dan kalam para ulama. Bagian yang ketiga, perbuatan-perbuatan yang membinasakan kita. Binasa dunia, binasa akhirat. Apa (yang membinasakan) itu? Nanti kita akan ketemu. Dan bagian yang keempat, perbuatan-perbuatan yang menyelamatkan kita. Inilah 4 bagian kitab Ihya 'dan kitab Bimbingan Mu'minin.

Pada era Imam al-Ghazali, masalah utamanya adalah para pendukung fiqh dengan para pendukung tasawuf bertelagah. Ahli fiqh dengan jalannya, ahli tasawuf dengan caranya. Yang kedua, dunia ilmu-ilmu Islam pada zaman itu diserapi oleh filsafat dari Romawi. Filsafat Socrates, Plato, Aristoteles masuk. Bagian yang benar tidak mengapa, tapi ada juga bagian yang salah telah meresap masuk. Jadi tugas Imam Al-Gahzali adalah untuk menyelesaikan dua hal ini. Yang pertama, dia ingin menyatukan antara kaum fikih dengan kaum tasawuf. Yang kedua, dia ingin membersihkan kembali dunia Islam ini dari ilmu filsafat yang salah.

Jadi apa yang rusaknya anggota-anggota fikih, (iaitu) ulama-ulama syariat pada zaman itu? Zaman itu ulama-ulama fikih ini asyik tumpu pada hukum-hukum. Asyik berbahas, mengkaji, menemukan hal-hal terkait hukum-hakam. Di situlah (asyik sibuk) berdebat pasal hukum-hakam. Yang itu halal, yang ini haram, ini sah, ini tidak sah ... sampaikan mereka ini menjauh dari segi akhlak. Katanya ulama, ulama fiqh, tetapi garang, omongannya kasar. Dari segi akhlaknya kurang, dari segi spiritual pun kurang terisi (karena) asyik tumpu pada (urusan) hukum-hukum saja.

Pendukung kelompok tasawuf pula, yang rusak karena mereka ini tumpu bagian rohani saja, 'bagian dalam' saja pula. Menjaga hati, menjaga sifat mahmudah, mengeluarkan sifat mazmumah ... asyik tumpu yang itu saja sampaikan berkait hukum hakam, dari segi syariat, sudah terbengkalai pula. Ada yang remehkan shalat, (perkara-perkara) sunat, macam-macam lagi. Maka kedua kelompok ini pun 'rusak'. Grup yang di tengah-tengah, selamat.

Maka Imam al-Ghazali ingin menarik ulama fiqh ini agar memberatkan juga bagian rohani dan kelompok-kelompok tasawuf ini juga pun peduli soal-soal syariat. Kitab Ihya 'ini sebenarnya menyatukan antara dua golongan ini.

Jadi hari ini kita belum (berkesempatan) buka lagi kitab kita, sejauh muka depan saja. InsyaAllah dalam kuliah akan datang barulah kita lihat halaman di dalamnya. Bab satu menceritakan tentang ilmu. Kita akan sentuh nanti. Hari ini kiranya muqaddimahlah, sekedar tambahan. Kita mengenal tuan kitabnya, mengenal kitabnya, maka banyaklah berkisar pada fakta. InsyaAllah dalam kuliah akan datang, kita tengok apa cerita Imam al-Ghazali dalam bagian yang pertama, cerita tentang ilmu.

Rasanya sekedar itu saja. Dan sebelum kita tutup majelis kita, ada hal berbangkit (tentang) persoalan tahiyyat. Sebagaimana yang kita biasa dengar, bacaan dalam tahiyyat ini terkait dengan peristiwa Mi'raaj. Nabi Muhammad naik ke langit, di sana dia berdialog dengan Tuhan. Tapi sebelum ini saya mencari tidak berjumpa (akan dalil-dalil yang baik tentangnya), dan saya pun tidak menyentuhnya dalam pengajian kitab Kifaayatul Muhtaaj kita tempoh hari.

Balik (ke rumah) saya cari lagi. Cari cari masih tidak berjumpa juga tentang asal bacaan tasyahhud tadi. Cuma yang ditemukan hadits ini, hadits riwayat Imam Muslim, satu hadits shahih. Kata sahabat: "Saat kami shalat di belakang Rasulullah saw, kami membaca," Assalamu'alallah, assalamu 'ala fulan ". Kemudian pada suatu hari Rasulullah bersabda kepada kami: "Sesungguhnya Allah adalah As-Salam."

Kita "salam" sejahtera kepada Allah, Allah itu sudah tersedia As-Salam. NamaNya pun As-Salam, sudah kesejahteraan, tidak perlu salam kepada Dia lagi.

"Jadi ketika salah seorang dari kamu duduk shalat, harus dia membaca ......," iaitulah bacaan tahiyyat.

"Bila dia membacanya, niscaya keamanan itu turun sama dikaruniakan kepada semua hamba Allah yang saleh, apakah di langit atau di bumi."

"Assalamu 'alaina wa' ala 'ibadillahissalihin." Untuk orang-orang saleh pun beroleh doa keselamatan juga. Itu saja cerita yang ada.

Kemudian hadits yang kedua riwayat Imam An-Nasa'i, Ad-Daraqutni dan Baihaqi: "Sebelum diwajibkan membaca tasyahhud (sebelum diperkenalkan bacaan tahiyyat itu), biasanya kami membaca," Assalamu 'Alallah, assalamu' ala Jibril, assalamu 'ala Mikail. .. (Ini bacaan tahiyyat yang asal). Kemudian Rasulullah bersabda: "Jangan ucap yang itu. Ucapkanlah, "At-Tahiiyyat ... (Dan seterusnya). "

Bacaan tasyahhud yang kita baca selama hari ini, ada dalam sebuah hadits lain yaitu hadits riwayat Imam Muslim dan Abu Dawud. Bacaan tahiyyat ini ada beberapa versi. Baca yang mana-mana pun benar. Tapi Mazhab Syafi'i biasanya memilih yang dari riwayat Imam Muslim dan Abu Dawud, yaitu yang kita baca sehari-hari itulah: "At-Tahiyyatul mubarakatus ..." itulah.

Saya mencoba cari kaitannya dengan peristiwa Mi'raaj, masih tidak ketemu juga. Mungkin ada kaitan, mungkin tidak ada kaitan. Jadi kita tidak berani buat keputusan karena tidak jumpa (sandarannya). Nanti kita kata tidak ada kaitan, tiba-tiba orang jumpa (kaitannya), bahaya untuk kita.

Cuma ada seorang menulis dalam internet, dia pun cari juga dan katanya terdapat satu hadits mengatakan Nabi Muhammad berdialog dengan Tuhan, yang (tahiyyat) itulah dialognya. Tapi katanya hadits itu hadits palsu. Dia tidak tunjuk hadits itu, cuma saya terbaca tulisannya.

Maka keputusan kita, kalau orang tanya, "Ada kaitan tidak bacaan tahiyyat dengan Isra 'Mi'raaj?" Kita kata: "Tidak ketemu sandarannya. Ada kaitan atau tidak, tidak diketahui. "Begitu caranya.

Jadi rasanya sekedar itu saja, kita jumpa lagi. Salah dan silap saya harap dimaaf.